Halaman

Senin, 28 Oktober 2013

Wali dan Saksi dalam pernikahan



                                                                                                                                                         I.       PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana permasalahan wali dan saksi dalam pernikahan?
2.      Apa-apa saja syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan?
3.      Bagaimana pengaruh, fungsi serta tanggung jawab saksi dalam pernikahan?
C.     Tujuan penulisan
1.      memperoleh pengetahuan tentang permasalan wali dan saksi dalam pernikahan.
2.      mengetahui syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan.
3.      memperoleh pengetahuan tentang pengaruh, fungsi serta tanggung jawab saksi dalam pernikahan.
                                                                                                                                                       II.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[1]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
 Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[2]
B.     Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a)      Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)      Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)     Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)      Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)       Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)      Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)      Anak paman seayah,
i)        Ahli waris kerabat lainya kalau ada.

2.      Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a)      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b)      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
c)      Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d)     Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e)      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f)       Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g)      Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3.      Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[3]
C.     Syarat-syarat wali
1)      Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
2)      Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
3)      Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
 `ãأَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
4)      Orang merdeka.
5)      Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[4]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
6)      Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
D.    Saksi Dalam akad nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.[5]
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ

 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
E.     Syarat-syarat saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:[6]
1)      Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2)      Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3)      Berakal
       Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
4)      Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
5)      Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6)      Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7)      Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
8)      Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
F.      Pengaruh, fungsi dan tanggung jawab saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy)[7]











                                                                                                                                                              III.            PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.       Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
b.      Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
c.       Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
d.      Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah.
B.     Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini kedepannya
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993).
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara,           1999.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta:     Kencana Prenada Media Group, 2009.










                       


[1] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hal .65.
[2] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 456
[3] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 25
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid. 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.82
[5] Djaaman Nur, Fiqh Munakahah. . . , hal. 61
[6] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83
[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1997 ), hal. 153

Makalah Ushul Fiqh: Mazhab (Qaul al-sahabi) Fatwa sahabat



I.     PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.[1]
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum salah satunya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang fatwa sahabat ini.
B.     Rumsusan masalah
1.      Apa pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi?
2.      Bagaimana pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi?
3.      Bagimana penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab?
C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi.
2.      Memperoleh pengetahuan tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi.
3.      Mengetahui tentang penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.
II.   PEMBAHASAN

A.    Pengertian mazhab (qaul) al-Shahabi
       Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada juga yang menamakannya dengan fatwa shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahabi menempatkan pada pembahasan tentang dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan ada yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal ini menunjuukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.[2]
       Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah.
       Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al-Hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.[3]

B.     Macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi
       Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:[4]
1.      Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2.      Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3.      Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4.      Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
       Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
1.      Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
2.      Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.

C.     Kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’n dan orang-orng setelah tabi’in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:[5]
1.      Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT.
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# . . .
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”.
(QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
“Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.
2.      Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi)  secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyaiyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.[6]
Alasan mereka antara lain adalah firma Allah:
ubr&((#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ Ì$|Áö/F{$#
Artinya:  
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar (pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad, sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan sahabat.
3.      Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka”
(QS.  at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.[7]
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang berbunyi: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.[8]
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.[9]
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in  berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk:[10]
1)      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2)      Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3)      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
4)      Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5)      Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6)      Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.

D.    Penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.
Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.[11]
Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat,  dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 ) [12]
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
       Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
       Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.

III.    PENETUP

A.    Kesimpulan
       Mazhab Sahabat yang lazimnya juga disebut qaul al-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
       Tidak semua qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama. Tetapi qaul al-Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan tersebut.
       Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini  penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.


DAFTAR KEPUSTKAAN
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, cet. 12, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Dahlan,  Abd. Rahman, Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.
Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,             2000.
Khallaf, Abdul Wahhab,  Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’, 1978.
M. Zein,  Satria Effendi, Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh,  jalid 2, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2008.
Umam, Khairul, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Zaedan, Abdul Karim, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Beirut: Muassasah Ar-Risalah,       1996.




[1] Abdul Wahhab Khallaf,  Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’, 1978),  hal. 21.
[2]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,  jalid 2, cet. 4 (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 378.
[3]Satria Effendi M. Zein,  Ushul Fiqh, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 169.
[4] Abdul Karim Zaedan,  Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996), hal. 260-261.
[5] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 182.
[6] Ibid, hal. 183.
[7] Ibid, hal. 184-185.
[8] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 225.
[9] Ibid, hal. 228.
[10] Jazuli, dkk, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 212-213.
[11] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. . . , hal. 226.
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. 12, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hal. 332-334.