I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbicara tentang permasalahan tarikh
tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif,
eksekutif dan kondisi masyarakat yang
menjadi aktor dalam berkembang atau menyusutnya sejarah tarikh tasyri’. Setiap pergantian generasi selalu saja ada
fenomena-fenomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung
diterima dari Tuhan yang menciptakan syari’at
itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan Nabi selalu terawasi. Jadi tidak
diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan eksekutif
selalu menjadi acuan bagi masyarkat Arab pada masa itu.
Perkembangan tasyri’ pada masa
sahabat tidak begitu drastis. perubahan yang terjadi hanya pada pola aplikasi
saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait dengan tasyri’ masih bisa disatukan. Akan
tetapi perlu kita ketahui bahwa embrio
pertama eksisnya perbedaan mazhab itu adalah pada masa para sahabat setelah
Nabi wafat.
Perkembangan yang terjadi pada ulama-ulama Hijaz menjadi ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh dari pemikiran Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umar bin
Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini di
kalangan para tabi’in banyak yang
terpengaruh oleh cara istimbat hukum
para sahabat tersebut, para tabi’in di
Iraq terpengaruh oleh metode ijtihad
yang digunakan oleh Ali sedangkan ulama
Hijaz dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu
Abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya mazhab sunny adalah
perkembangn dari ulama ahlul Ra’yu,
termasuk juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i,
dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa
Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang
hukumnya berbeda, yang menjadi tanda tanya apakah di balik perbedaan tersebut,
apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbedaan yang terjadi
itu karena dilatar belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam
Safi’i dengan background Iraq dan Mesir
sehingga hadirnya qaul qadim dan qaul jadidnya, Imam Hanifah yang
dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri
Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada
faktor-faktor yang lainnya.[1]
Dilatar belakangi oleh
hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba mengkaji masalah tersebut,
dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’
Al-Fuqaha/Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat memberi sedikit
pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
yang melatar belakangi perkembangan tarikh
tasyri’ pada masa imam mazhab?
2.
Bagaimana
dinamika tarikh tasyri’ pada masa
imam mazhab?
3.
Bagaimana
pengaruh pembukuan ushul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
memberi pemahaman tentang hal yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
2.
Memperoleh
pengetahuan tentang dinamika tarikh
tasyri’ pada masa imam mazhab.
3.
Mengetahui
pengaruh pembukuan ushul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’.
II.
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor perkembangan tasyri’
Berdasarkan sejarah Islam, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh pada periode ini merupakan puncak dari
perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa
munculnya mazhab-mazhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan
karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyri’ pada periode ini, seperti tumbuh suburnya
kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan
kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’
memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.[2]
Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali
bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah
wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti
salah satu munculnya mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikiran fiqh dari zaman
sahabat, tabi’in hingga muncul
mazhab-mazhab fiqh pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya mazhab-mazhab
yang dianut.
Di samping itu,
adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang
timbulnya mazhab tasyri’, ada
beberapa faktor yang mendorong, diantaranya:[3]
1) Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islam menghadapi berbagai macam
masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2) Munculnya ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fiqh berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang
fiqih, yang diberi nama al-Madzhab
atau al-Madrasah yang diterjemahkan
oleh bangsa Barat menjadi school,
kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3) Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat
dari ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4) Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik
seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab
hukum Islam.
B. Mazhab-Mazhab Fiqh (dasar pemikiran dan perkembangannya).
1. Mazhab Hanafi
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah,
yang memiliki nama lengkapnya adalah al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H).
Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada
Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80
H, yaitu pada zaman kekuasaan Abdul Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada
zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun. [4]
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan
18 tahun pada zaman Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima
puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara putranya ada
yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu
Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari
bahasa Arab "haniif yang artinya
condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi
gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan
tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.
Pada
awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi
ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama
aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang
di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula-mula beliau mempelajari hukum
agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja,
tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat
tertarik mempelajari ilmu fiqih yang merangkum berbagai aspek kehidupan. Imam
Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah
baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Beliau banyak
mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya:
Ø
Bahwa perempuan boleh jadi
hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan
perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana.
Dengan demikian, metode ijtihad yang
digunakan adalah qiyas dengan
menjadikan kesaksian sebagai al-ashl
dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’i.
Ø
Abu Hanifah dan ulama Kufah
berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana shalat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’
dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya
dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa
hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi
yang sangat berbeda antara kedua masa tersebut.
Mazhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya
menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang
bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih
Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang
hidup di masanya.
Murid Imam Abu Hanifah
yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah: Imam Abu Yusuf
al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah menyusun
kitab-kitab fiqih, di antaranya Jami’
al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan
lain-lain.
Sumber-sumber hukum mazhab Hanafi:
1) al-Qur’an, sunnah dan ijma’
Bagi mazhab Hanafi al-Qur’an, sunnah dan ijma’ merupakan
sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat di dalam al-Qur’an maka merujuk ke hadis dan jika
tidak terdapat di dalam hadis maka merujuk ke ijma’. Terkait dengan sunnah,
Imam Hanafi hanya menggunakan hadis yang shahih
dan masyhur.
Pendapat para sahabat, Imam
Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu,
dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab Hanafi.
2) Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan
oleh Hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia
memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in
dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.[5]
3)
Istihsan (Preperensi)
Istihsan
sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya, walupun bukti yang dugunakan
ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4)
‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi
bobot hukum dalam wilayah di mana tidak terdapat tradisi Islam yang mengikat,
melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang
berbeda di dalam dunia Islam menjadi sumber hukum.
2. Mazhab Maliki
Nama lengkap pendiri
mazhab Maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H (721 M)
di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam
Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu
Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih
kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak menghalangi ia
untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, di samping itu dia juga
menuntut ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-Qur,an, beliau juga menuntut ilmu
kepada seorang ulama yang dikenal sangat cerdas di antara para ulama lainnya
yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan
dan kealimanya.
Imam Malik belajar
kepada ulama-ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman
bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibn Umar, Imam Malik
diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadis. [6]
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya fiqh. Inilah kitab
tertua hadis dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang imam dalam ilmu hadis
dan fiqih sekaligus. Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah
kemudian pada as-Sunnah. Tetapi
beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadis ahad, dalam ini disebabkan karena beliau
berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah,
Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang
tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
Kitab al-Mudawwanah
sebagai dasar fiqih mazhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di Mesir dan
tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’.
Pembuatan undang-undang di Mesir sudah memetik sebagian hukum dari mazhab
Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah Mesir.[7]
Sumber-sumber hukum mazhab Maliki
Dalam menentukan
hukum-hukum, Imam Maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum, adapun
sumber-sumber hukum yang digunakan Imam Malik antara lain:
1. Al-Qur’an
2.
Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur)
3.
Ijma’ (amalan ulama Madinah ketika itu)
4.
Qiyas (analogis)
5.
Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh Imam
Malik di dasari oleh kondisi masyarkat Madinah, walaupun banyak para ulama yang
tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah
mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode
tersebut. Imam Malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hukum-hukum baru yang
tidak terdapat didalam al-Qur’an dan hadis.
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam
Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani
Hasyim yang memiliki nasab kepada
Rasul, beliau lahir di Ghazah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun
204 H pada saat beliau berumur 52 tahun.
Syafi’i pernah belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah
hukumnya di mesjid al-Haram dari dua
orang mufti besar, yaitu Muslim bin
Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan
kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi
kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah.
Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam
bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang
jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan
qiyas dan istishab.[8]
Di antara buah pena/karya-karya
Imam Syafi’i, yaitu :
Ø Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
Ø
Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah
fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
Sumber-sumber hukum mazhab Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan
untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil yang mengandung
permasalahan perintah dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan
melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang dimaksud
misalnya asas tasyri’. Pengetahuan
tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya fikir dan
daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh
Imam Syafi’i, dalam menggali hukum syari’ah,
Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i
dalam kitab ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
1) Al-Qur’an
Dalam menggali hukum di dalam
al-Qur’an Imam Syafi’i lebih
menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab dengan tujuan
agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan
ayat-ayat al-Qur’an setiap kali
beliau berfatwa, namun Syafi’i
menganggap bahwa al-Qur’an tidak bisa
dilepaskan dari al-Sunnah, karena
kaitan antara keduanya sangat erat.[9]
2) Al-Sunnah
Untuk hadis Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadis yang bersifat mutawatir dan ahad, sedangkan untuk hadis yang dhaif hanya digunakan untuk li
afdhalil ‘amal, dalam menerima hadis ahad
mazhab Syafi’i mnsyaratkan:[10]
1) Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2)
Perawinya
cerdik dan mahami hadis yang diriwayatkannya
3)
Perawinya
dengan riwayat bi lafdhi bukan dengan
riwayat bil makn.
4)
Perawinya
tidak mnyalahi ahl-Ilmi
Kalau kita perhatikan,
persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadis, hadis ahad
yang diterimanya sebatas kalau hadis tersebut sahih dan bersambung.
Faktor yang
melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadis karena sesudah Nabi
wafat banyak dari kalangan aliran politik yang membuat hadis-hadis palsu untuk
menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadis pun bisa diatur dan diubah
sesuai dengan keinginan pemimpin.
3) Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh
Syafi’i adalah ijma’ para sahabat,
dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu
menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik al-Qur’an
maupun hadis, contoh ijma’ yaitu
shalat terawih 20 rakaat. Jika terjadi perbedaan di antara para sahabat, maka
Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama
menempati posisi ketiga setelah al-Qur’an
dan hadis, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada
dalil yang ada yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh
Syafi’i kenapa ijma’ harus
disandarkan kepada nash:
·
Bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada
kebenaran.
·
Bahwa para
sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak pernah
menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil al-Qur’an.
·
Pendapat
agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar.
·
Pandapat
yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum syara’ nya.
4) Qiyas
Qiyas menurut para ahli
hukum Islam berarti penalaran analogis,
yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum
permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama. Imam Syafi’i sangat
membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak
bisa independent karena semua yang
diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash
al-Qur’an dan sunnah.
4. Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak
berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria,
Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam
kitab musnadnya.
Sebagaimana diketahui
bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke
berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah,
Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan
hadis, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadis Imam Ahmad bin
Hanbal menurut beberapa ulama dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh.
Akan tetapi Imam Ahmad
memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu fiqih yang berkesan yaitu Imam syafi’i
yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam syafi’i yang terpenting
bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri.
Orang yang belajar hadis akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar
ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’i, para pengikut Imam Syafi’i
menilai bahwa Ahmad Ibn Hanbal adalah pengikut Imam Syafi’i, meskipun dalam
kasus tertentu ia berijtihad sendiri.
Selain Imam Syafi’i yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu
murid dan penerus Mazhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses tasyri’ Imam Hambali banyak Terpengaruh oleh Imam Syafi’i, yang
masih nelakukan pendekatan tekstual,
tidak seperti Imam Hanafi yang menggunakan ra’yu
dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad
ibn Hanbal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut:[11]
1)
Al-Nushush dari al-Qur’an
dan Sunnah. Apabila telah ada
ketentuan dalam al-Qur’an dan sunnah, ia berpendapat sesuai dengan
makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2)
Apabila
tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih
pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3)
Apabila
fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
4)
Imam
Ahmad mengambil hadis mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang
menghalanginya. Dimaksud dengan dhaif
disini bukan dhaif yang bathil dan yang mungkar, tetapi dhaif yang
tergolong shahih atau hasan. Dalam pandangan Imam Ahmad, hadis
itu tidak terbagi atas shahih, hasan
dan dhaif, tetapi terbagi atas dua
yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadis menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi
(209-279 H). Karenanya tidak
mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadis masih kepada shahih dan dhaif. Hadis dhaif ada
bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif
tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadis semacam ini lebih
utama daripada menggunakan qiyas.
5)
Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila
tidak ada senjata yang disebut sebelumnya.
C. Pengaruh pembukuan usul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’
Pembukuan ushul fiqh dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab (Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1) Imam Abu Hanifah (80—150H)
2) Malik bin Anas (93-179 H)
3) Imam Syafi’I (150-204 H)
4) Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh
adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi
munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu para ulama sangat
membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya
(pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:
a) Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh alasannya,
Abu Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istinbath, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisan ushul fiqh. Demikian pula Muhammad
bin Hasan menyusun kitab ushul fiqh sebelum Syafi’i.
b) Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama
berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang
pertama menyusun kitab ushul fiqh.
c) Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir ibn Ali ibnu Zainal Abidin kemudianm diteruskan putranya
Ja’far Shodiq,
d) Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama
menyusun kitab ushul fiqh dengan nama ar-Risalah.
Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf
dan asy-Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang sangat ditentang
ahli hadis.
Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehensif dan tidak sektarian adalah
Imam Syafi’i dengan karya ar-Risalah.
Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa
pembahasan ushul fiqh dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa
sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam
Malik yang pertama membicarakan ushul fiqh.
Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama pertama menyusun ilmu ushul
fiqh, karena beliau secara komprehensif
telah merumuskan kaidah-kaidah fiqiyyah
bagi setiap bab dalam bab-bab fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan
kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.
Imam Syafi’i dalam ar-Risalah berhasil
merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul
fiqhnya betul-betul independen dan sempurna.
Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah peletak batu
pertama ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang
menulis ilmunya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha
hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad
Hasan Syaibani.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munculnya mazhab-mazhab fiqih itu lahir dari perkembangan
sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan
oleh para orientalis. Munculnya
mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul mazhab-mazhab
fiqih pada periode ini.
Salah satu pendorong
diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin
luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan
jawaban hukum syara’. Untuk itu para
ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya
(pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, namun Jalaluddin al-Suyuthi
berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama ilmu ushul fiqh yang
lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara
tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha
hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad
Hasan Syaibani.
B. Saran
Dengan selesainya
makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya
saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat
menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah
tasyri’.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Mansur, Asep Saifuddin, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka Al-Hhsna, 1984.
A.
Sirry,
Mun’im, Sejarah Fiqh Islam,
Islamabat: Risalah Bush, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan
Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Khallaf, Abdul Wahhab, Tarikh Tasyri’ Islam, Solo: Ramadhani, 1991.
Mahjuddin, Ilmu
Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991.
Philip, Ameanah Bilah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung: Nusa Media, 2005.
Rosyada, Dede, Hukum
Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Syafi’i, Rahmat, Usul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Zuhri, Muh, Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar