A. Wakalah
1. Pengertian dan Rukun Wakalah
Wakalah adalah pelantikan seorang untuk mengambil
tempat orang yang melantiknya untuk mengerjakan suatu tugas bagi pihaknya.
Wakalah merupakan salah satu perjanjian yang memberikan kuasa orang yang
mewakili kepada wakil untuk menjalankan suatu kerja bagi pihak diwakili itu.
Misalnya seorang nasabah minta Bank Islam untuk mewakilinya untuk membeli
sejumlah saham dari sebuah perusahaan tertentu bagi pihaknya dengan membuat
bayaran yang disetujui. Setelah pembelian tersebut selesai, maka pihak Bank menyerahkan
saham saham itu kepada nasabah, dengan itu selesailah hubungan Wakalah antara
Nasabah dengan Bank bersangkutan. Prinsip-Prinsip Jasa Perbankan Syariah Dan KetentuannyaPrinsip-Prinsip Jasa Perbankan Syariah Dan Ketentuannya
Dalam kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah,
Bank Indonesia dijelaskan pengertian wakalah sebagai berikut:
Wakalah-perwakilan, penyerahan, pendelegasian atau pemberian
mandat (power of attorney) – adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Praktek wakalah dalam
lembaga keuangan syariah mengharuskan adanya, muwakil (nasabah atau investor), wakil
(bank) dan taukil (obyek atau wewenang yang diwakilkan) Wakalah bil Ujrah
adalah akad wakalah dengan memberikan fee atau imbalan kepada wakil
Dalam Glossori Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional, memberikan penjelasan pengertian wakalah sebagai berikut:
Wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu
pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
Dalam prinsip wakalah rukun wakalah adalah :
a. Pemberi kuasa (Muwakil)
b. Penerima kuasa (Wakil)
c. Obyek yang dikuasakan (Taukil)
d. Ijab Qabul (Sighat)
Rukun wakalah menurut madzhab Hanafi adalah ijab dan
qabul. Ijab diucapkan oleh pemberi mandat dan disebut sebagai ashiil (orang yang
pokok). Ia mengatakan: “saya wakilkan kepadamu untuk ini,” atau “kerjakanlah
hal ini”, atau “saya izinkannya untuk mengerjakan ini”, dst. Sedangkan qabul
diucapkan oleh wakil (orang yang diserahi mandat). Ia mengatakan: “saya
terima”, atau ungkapan lain yang serupa karena qabul itu bisa terpenuhi dan
termasuk sempurna dengan tindakan atau perbuatan apapun yang menunjukkan makna qabul,
serta disyaratkan qabul itu harus dalam bentuk ucapan, dengan alasan tawkil
(penyerahan mandat) ini hukumnya adalah pembolehan (ibahah) dan menghilangkan
kesungkanana atau keberatan akan sesuatu. Maka karena itu sama halnya seperti
pembolehan akan makanan. Ada kesepakatan di kalangan ulama tentang bolehnya
menerima wakalah dengan segera atau dengan tempo tertentu, karena para wakil. Nabi
saw pun pernah melakukan qabul seperti itu. Sedangkan Nabi saw menunggu ketika
memberikan mandat kepada mereka. Jika ijab dan qabul tidak terpenuhi dalam
suatu akad, maka akad tersebut tidak sempurna. Maka seandainya ada seseoang
yang mewakilkan kepada orang lain untuk menerima uang piutang, lalu wakilnya
itu menolak untuk menerima uang tersebut kemudian pergi dan uang tadi diterima
oleh si pemberi wakalah, maka orang yang berhutang tetap dianggap belum
melunasi hutangnya. Karena sempurnanya akad adalah dengan adanya ijab dan
qabul. Juga karena masing-masing diantara keduanya telah membatalkan akadnya
dengan penolakannya sebelum adanya akad yang baru. Sebagaimana hokum dalam jual
beli atau yang sejenis. Menurut jumhur ulama, rukun wkalah itu ada empat, yaitu
pemberi wakalah, wakil, sesuatu yang dimandatkan atau diwakilkan dan shighot
(ijab qabul).
Wakalah
halal dalam Islam dengan menurut syarat syarat tertentu (Al Fiqh Al Islam wa
Adillatuhu Dr Wahbah Zuhaili. bmi) yaitu .
a. Pihak orang yang diwakili dan wakil
harus terdiri dari mereka yang dipertanggungjawabkan.
b. Orang yang diwakili harus mempunyai
kuasa untuk mengendalikan perkara yang diwakili.
c. Wakil hendaklah menyatakan dengan jelas
perkara diwakili saat perjanjian.
d. Wakil harus menyebutkan nama orang/pihak
yang diwakili saat menjalankan tugas Wakalah yang berkaitan dengan Hibah,
Pinjaman, Pegadaian, Wadi’ah, Hutang Piutang , Musyaarakah dan Mudharabah.
Adapun ketika menjalankan tugas Wakalah dalam Jual Beli dan Sewa menyewa tidak
perlu menyebutkan nama pihak yang diwakili.
2. Ketentuan Wakalah
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 10/DSN-MUI/IV/2000
tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
Pertama:
ketentuan tentang wakalah
1. Pernyataan ijab Kabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat
dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak
Kedua:
Rukun dan syarat wakalah
1. Syarat-syarat muwakil (yang mewakilkan),
adalah :
a) Harus seorang pemilik sah yang dapat
bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan
b) Orang mukalaf atau anak mumayyiz dalam
batasbatas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan
untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya
2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a) Cakap hukum
b) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan
kepadanya,
c) Wakil adalah orang yang diberi amanat
3. Hal-hal yang diwakilkan
a) Diketahui dengan jelas oleh orang yang
mewakili
b) Tidak bertentangan dengan syariah islam
c) Dapat diwakilkan menurut syariah islam
3.
Jenis Wakalah
Wakalah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Wakalah Muthlaqah, yaitu Wakalah yang
tidak terikat dengan syarat tertentu (Selain dari syarat yang ditetapkan
Islam)., tidak terbatas waktu, dan tidak terikat dengan keadaan tertentu.
2. Wakalah Muqaiyadah, yaitu Wakalah yang
terikat dengan syarat tertentu, atau terbatas waktu, atau terikat dengan syarat
tertentu.
Mewakilkan sesuatu yang berkaitan dengan Muamalat
kepada orang lain walaupun orang yang diwakili itu bisa melakukannya sendiri
adalah Sah. Uang / harta benda yang diterima Wakil sebelum diserahkan kepada
pemiliknya adalah terikat dalam hukum Wadi’ah. Seorang wakil tidak boleh
melantik seseorang untuk perkara yang diwakilkan kepadanya, kecuali dengan izin
pihak yang diwakili. Wakil boleh mengambil upah / komisi atas Wakalah. Orang
yang diwakili boleh memecat wakilnya, kecuali jika tanggung jawab wakilnya itu
terhadap orang lain belum selesai. Wakil juga boleh menarik diri, kecuali jika
ada pertanggungjawabnya terhadap orang lain yang belum selesai. Wakalah
berakhir dengan selesainya tugas-tugas yang diwakili. Wakalah tidak boleh
diwarisi, karena itu Wakalah bubar jika salah satu pihak meninggal. Wakalah
batal jika kelayakan salah satu pihak hilang. Peranan Bank Islam dalam
menjalankan perdagangannya banyak terlibaat dengan konsep Wakalah, karena Bank
merupakan perantara antara Unit lebihan dengan Unit kekurangan lmelalui
kerjasama secara Musyarakah atau Mudharabah, di mana kedua konsep ini mempunyai
hubungan yang erat dengan Wakalah. Dalam pelayanan Bank kepada Nasabahnya,
Wakalah juga memainkan peranan penting, seperti pembelian saham, pemesanan
barang uar negeri, Hiwalah, pinjaman, penjualan barang gadai dan lainnya.
A. Aplikasi Wakalah dalam Bank Syariah
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
atau jasa tertentu, seperti pembukaan letter of credit, inkaso dan transfer
uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap
hukum. Khusus untuk pembukaan Letter of Credit apabila dana nasabah tidak
cukup, maka penyelesaian L/C (settlement LC) dapat dilakukan dengan pembiayaan
Murabahah, Mudharabah, atau Musyarakah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank
harus jelas sesuai kehendak nasabah, Setiap tugas yang dilakukan harus
mengatasnamakan nasabah dan harus mampu dilaksanakan oleh bank. Atas
pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapatkan imbalan (fee) berdasarkan
kesepakatan bersama. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab
bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh
bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali seizin
nasabah. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui
bersama antara nasabah dengan bank.
B. Kafalah
1. Pengertian dan Rukun Kafalah
Kata kafalah (zuhaili, bmi, ) mempunyai banyak
padanan kata, antara lain hammalah, dhomanah dan za’amah. Sedangkan orang yang menjamin
disebut dhamiin, kafiil, qabiil, za’iim atau shabir. Semua istilah tersebut
mempunyai arti yang sama, yaitu penjamin, hanya saja, istilah dhamin lebih populer
dipergunakan dalam perkara yang berkaitan dengan harta, hamiil dalam masalah
diyat (denda pembunuhan), za’iim dalam permasalahan harta dalam jumlah yang
sangat besar, sedangkan kata za’iim lazim dipergunakan untuk semua urusan
tersebut.
Kafalah dan Dhamanah mempunyai arti yang sama, yaitu
jaminan. Yang mana yang dimaksud dengan Jaminan adalah bertanggung jawab atas
hak yang thabit/wajib bagi orang lain atau menghadirkan seseorang yang
mempunyai suatu tanggung jawab untuk diambil tindakan atau mendapatkan suatu
barang pengganti kepada pihak yang berhak. Dengan ini, berarti jaminan adalah :
menempatkan tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.
Rukun
kafalah adalah
a. Pihak penjamin (kaafil)
b. Pihak yang dijamin (Makful)
c. Obyek penjaminan (Makful alaih)
d. Ijab kabul (Sighat)
2. Jenis kafalah
1. Kafalah bi an nafs yaitu merupakan akad
memberikan jaminan atas dirinya (personal guarantee)
2. Kafalah bi al mal yaitu merupakan
jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang
3. Kafalah bit taslim. Jenis ini biasa
dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa
sewa berakhir
4. Kafalah al munjazah. Jaminan mutlak yang
tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan untuk kepentingan / tujuan
tertentu.
5. Kafalah al mualaqah. Jaminan ini merupakan
menyerdahanaan dari kafalah al-munjazah, dimana jaminan dibatasi hanya untuk
jangka waktu tertentu
3. Ketentuan Kafalah
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 11/DSN-MUI/IV/2000
tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
Pertama:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak nereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat
menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan
3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat
dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua:
1. Pihak penjamin (Kafill)
a) Baligh (dewasa) dan berakal sehat
b) Berhak penuh untuk melakukan tindakan
hokum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut
2. Pihak orang yang berhutang (Ashil,
Makfuul’anhu)
a) Sanggup menyerahkan tanggungannya
(piutang) kepada penjamin
b) Dikenal oleh penjamin
3. Pihak orang yang berpiutang (Makfuul
lahu)
a) Diketahui identitasnya
b) Dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa.
c) Berakal sehat
4. Obyek penjaminan (makfuul bihi)
Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang,
baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan
a) Bisa dilaksanakan oleh penjamin
b) Harus merupakan piutang mengikat
(lazim), yang tidak mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
c) Harus jelas nilai, jumlah dan
spesifikasinya.
d) Tidak bertentangan dengan syariah
(diharamkan)
4. Aplikasi Kalafah dalam Bank Syariah
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk
menjalin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini, dan bank menerima
dana tersebut dengan prinsip wadi`ah. Bank mendapatkan imbalan atas jasa yang
diberikan.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia nomor 10/31/DPbS tanggal
7 Oktober 2008, perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dijelaskan
Bank Garansi sebagai berikut:
1. Definisi
Bank Garansi adalah jaminan yang diberikan oleh bank
kepada pihak ketiga penerima jaminan atas pemenuhan kewajiban tertentu nasabah
bank selaku pihak yang dijamin kepada pihak ketiga dimaksud.
2. Akad Kafalah
Transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua (makful ‘anhu/ashil).
3. Fitur dan Mekanisme
a) Bank bertindak sebagai pemberi jaminan
atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga;
b) Kontrak (akad) jaminan memuat
kesepakatan antara pihak bank dan pihak kedua yang dijamin dan dilengkapi
dengan persaksian pihak penerima jaminan;
c) Obyek penjaminan harus:
·
Merupakan
kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan;
·
Jelas
nilai, jumlah dan spesifikasinya termasuk jangka waktu penjaminan; dan
·
Tidak
bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan).
d) Bank dapat memperoleh imbalan atau fee
yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap;
e) Bank dapat meminta jaminan berupa Cash
Collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan; dan
f) Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi
kewajiban kepada pihak ketiga, maka Bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah
kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai Pembiayaan atas
dasar Akad Qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah.
C. Sharf
1. Pengertian dan Rukun
Yaitu berpisahnya dua pelaku sharf secara fisik dari
tempat transaksi; seorang menuju ke satu arah dan yang lain ke arah lain. Atau salah
satunya pergi sementara yang lain tetap di tempat transaksi. Jika keduanya
tetap berada di tempat, maka perpisahan itu belum terjadi, meskipun keberadaan
di tempat transaksi mereka berlangsung sangat lama disebabkan tidak adanya
perpisahan secara fisik. Perpisahan juga belum terwujud manakala kedua pelaku
tidur atau pingsan di tempat taransaksi, atau keduanya meninggalkan tempat
transaksi bersamasama melalui jalan yang sama, meskipun telah menempuh 1 mil
atau lebih. Karena yang menjadi patokan adalah perpisahan secara fisik, dan itu
belum terwujud.
Ash Shaft adalah jual beli mata uang. Asalnya mata
uang hanya emas dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak disebut Dirham.
Mata uang dari kedua jenis itu disebut mata uang intrinsik. Zaman sekarang,
mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang dibeli nilai tertentu.
Mata uang dari jenis-jenis tersebut disebut mata uang menurut nonimal.
Rukun dari sharf adalah :
a) Penjual (Ba’i)
b) Pembeli (Musytari)
c) Mata uang yang diperjual belikan (Sharf)
d) Nilai tukar (Si’rus Sharf)
e) Ijab Qabul (Sighat)
Tukar menukar mata uang boleh terjadi antara :
a) Jenis logam yang sama (emas dengan emas,
perak dengan perak)
b) Jenis logam yang berlainan (emas dengan
perak, emas dengan
c) nikel)
d) Logam dengan uang kertas (emas dengan
kertas)
e) Uang kertas dengan uang kertas (selembar
uang Rp. 10.000,-- dengan beberapa lembar uang ribuan)
Dalam taraf international, tukar menukar uang mata
uang juga selalu terjadi antara mata uang setempat dengan mata uang asing dan
antara mata uang asing dengan mata uang asing lainnya. Tukar menukar mata uang
atau jual beli mata uang hukumnya Jaiz (boleh boleh saja) dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Jika mata uang yang ditukar itu emas
dengan emas atau perak dengan perak, maka harus sama berat atau sama timbangan
dan penyerahan barangnya dilakukan pada waktu yang sama.
2. Jika mata uang yang ditukar itu emas
dengan perak, maka penyerahan barangnya harus dilakukan pada waktu yang sama.
Menurut kebanyakan ulama Fiqih, mata uang selain
emas dan perak tidak termasuk barang ribawi. Karena itu, serah terima dalam
tukar menukar mata uang selain emas dan perak tidak diharuskan dilakukan pada
waktu yang sama. Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu ke
waktu. Tukar menukar mata uang negara yang sama dan berlainan jenis bahannya
seperti $ 100.000 koin emas USD dengan $ 500.000 uang kertas USD hukumnya
Jaiz.Berjanji untuk menukarkan uang asing dengan mata uang setempat pada waktu
tertentu dan dengan harga yang ditetapkan, hukumnya Jaiz.
Pada prinsipnya jual beli valuta asing yang sejalan
dengan prinsip syariah adalah apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang
sama, maka nilai mata uang tersebut harus sama dan penyerahannya juga dilakukan
pada waktu yang sama (spot). Sedangkan apabila yang dipertukarkan adalah mata
uang yang berbeda maka nilai tukar uang tersebut ditentukan berdasarkan
kesepakatan / harga pasar dan diserahterimakan secara tunai (spot)
2. Ketentuan Sharf
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Sharf sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 28/DSN-MUI/III/2002
(Fatwa, 2006) sebagai berikut:
Pertama:
Ketentuan umum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk
berjaga-jaga (simpanan)
c) Apabila transaksi dilakukan terhadap
mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh)
d) Apabila berlainan jenis maka harus
dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan
dan secara tunai.
Kedua
: Jenis-jenis transaksi valuta asing
a. Transaksi Spot, yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (
over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua
hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari
dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan
transaksi internasional.
b. Transaksi Forward, yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valas yang dinalainya ditetapkan pada saat sekarang dan
diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu
tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang
diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal
harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang
disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan
yang tidak dapat dihindari (lil hajah)
c. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak
pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan
pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya
haram, karena pengandung unsur maisir (spekulasi)
d. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk
memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus
dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau
tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi)
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia nomor 10/31/DPbS tanggal
7 Oktober 2008, perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dijelaskan
Penukaran Valuta Asing (sharf) sebagai berikut:
1. Definisi
Penukaran Valas merupakan jasa yang diberikan bank
syariah untuk membeli atau menjual valuta asing yang sama (single currency)
maupun berbeda (multi currency), yang hendak ditukarkan atau dikehendaki oleh
nasabah
2. Akad Sharf (Transaksi pertukaran antar
mata uang berlainan jenis.)
3. Fitue dan mekanisme
a) Bank dapat bertindak baik sebagai pihak
yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada
nasabah;
b) Transaksi pertukaran uang untuk mata
uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi
spot; dan
c) Dalam hal transaksi pertukaran uang
dilakukan terhadap mata uang berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka
transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan
D. Hawalah (Hiwalah)
1. Pengertian dan Rukun Hawalah
Hawalah atau Hiwalah adalah akad pengalihan hutang
dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya
Rukun hawalah (zuhaili, bmi) menurut mazhab Hanafi
Ijab dari muhil (yang berutang yang memindahkan utangnya) dan Qabul dari muhal
(pemberi utang) dan muhal `alaih (yang menerima pemindahan) dengan lafazh
tertentu yaitu istighat hawalah: ijab misalnya muhil berkata kepada dain
(pemberi utang); saya pindahkan utangku kepada si fulan, dan qabul dari muhal
dan muhal `alaih, misalnya salah seorang dari mereka mengatakan, saya terima
atau saya ridhai, sebab harus adanya keridhaan muhal `alaih menurut mazhab
Hanafi karena, hawalah adalah transaksi atasnya dengan pemindahan hak (utang)
kepadanya, maka dia tidak sempurna kecuali dengan keridhaannya, karena dia yang
akan bertanggung jawab atas utang, maka itu tidak harus kecuali dia memberi
iltizam
Sedangkan ridha muhal: maka ini harus, karena utang
itu adalah haknya yang berada dalam tanggungan muhil, dan utang inilah yang berpindah
dengan adanya hawalah, dan tanggungan juga bertingkattingkat dalam
pelaksanaannya langsung atau ditunda-tunda, karena itu harus ada ridhanya,
kalau tidak maka akan ada mudharat,dengan mengharuskan mengikuti orang yang
tidak menepatinya.
Sedangkan muhil, Al Qaduri juga mensyaratkan
ridhanya: karena orang terhormat biasanya enggan untuk membebaskan kewajibannya
kepada orang lain dia menyebutkan dalam Azziyadat dan ini pendapat pilihan
menurut sebagian mereka; bahwa hawalah boleh walaupun tanpa keridhaannya,
karena komitmen dengan utang oleh muhal `alaih sama dengan transaksinya sendiri
dalam hal ini muhil tidak mendapat mudharat bahkan dia mendapatkan manfaat;
Hanabilah dan Zhahiriyah mengatakan: hanya disyaratkan ridha muhil saja.
Sedangkan muhal dan muhal `alaih harus menerima
hawalah tersebut, karena perintah dalam hadits terdahulu menunjukan wajib dan
ridha keduanya tidak diperhitungkan, ini kebalikan dengan pendapat mazhab
Hanafi, Hanabilah hanya mensyaratkan bahwa muhal dan muhal `alaih tahu akan hal
itu.
Sebab tidak disyaratkan ridha muhal `alaih karena
muhil bias melunasi sendiri utangnya atau dengan wakilnya, dan muhal telah menjadikan
tempatnya dalam pemegangan (penerimaan), maka muhil `alaih wajib membayar
kepadanya (muhal) seperti seorang wakil.
Malikiyah dalam pendapatnya yang masyhur dan syafi’i
dalam pendapatnya yang lebih shahih mengatakan,untuk kesahan hawalah harus ada
ridha muhil dan muhal saja, karena muhil punya kewajiban untuk melunasi
utangnya, dan ini tidak harus dari pihak tertentu, dan haknya muhal ada pada
muhil, dan ini tidak pindah kecuali dengan ridhanya, karena pelaksanaan
tanggungan berbeda dari satu orang dengan yang lainnya, sedangkan muhal
ridahnya tidak wajib pada hawalah, karena perintah dalam hadits hanya untuk
anjuran saja, dan muhal tidak harus menerima hawalah.
Dan tidak di syaratkan ridha muhal `alaih karena dia
adalah tempat hak (utang itu) dan transaksi, dan karena hak itu ada pada muhil
maka dia punya hak untuk melunasinya dengan orang lain, perintah hanya
penyerahan pada pemegangan (penerimaan), maka tidak perlu ada ridha orang yang
punya kewajiban, sebagaimana kalau seseorang mewakilkan kepada yang lain dalam
memegang utang, dan muhal menyalahinya bahwa haq adalah miliknya, maka tidak bias
dipindahkan kepada yang lain seperti penjual. Sedangkan muhal `alaih punya
kewajiban atas utang, maka keridhaannya tidak diperhitungkan seperti barang
yang diperjualbelikan.
Dari yang lalu kita fahami bahwa hawalah menurut
jumhur selain mazhab Hanafi punya enam syarat: muhil (madin), muhal `alaih
(da’in) yang punya kewajiban atas utang, muhal (pemilik harta), muhal bihi: utang
muhil kepada muhal dan utang muhal `alaih kepada muhil dan shighat.
Untuk sahnya hawalah menurut mazhab Hanafi
disyaratkan beberapa syarat, ada yang berhubungan dengan muhil, muhal, muhal `alaih
dan muhal bihi. (zuhaili, bmi) sebagai berikut:
a. Syarat-syarat muhal pada muhil
disyaratkan dua syarat :
1) Orang yang sah melakukan aqad, adanya
sifat berakal dan baligh , maka hawalah orang gila dan anak kecil yang mbelum
berakal tidak sah, karena akal adalah syarat dalam melakukan berbagai
transaksi. Anak kecil yang sudah mumayyiz juga belum berlaku hawalahnya kecuali
atas izin walinya, jadi baligh adalah syarat berlaku dan sahnya bukan syarat
terjadinya.
2) Ridha muhil, kalau dia dipaksa untuk
melakukan hawalah maka tidak sah, karena hawalah adalah pelepasan yang mengandung
makna kepemilikan, dan kepemilikan rusak dengan adanya paksaan, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanbaliah sepakat dengan mereka pada syarat ini. Ibnu kamal
dalam Al Idhah mengatakan sedangkan ridha muhil hanya di syaratkan untuk bisa
kembali kepadanya.
b. Syarat-syarat muhil pada muhil ada 3
syarat.
1) Sah melakukan aqad seperti pada muhil,
seperti keadaanya berakal, karena qabulnya adalah rukun pada aqad, dan orang
yang tidak berakal tidak sah melakukan qabul, juga harus baligh dan dia juga
syarat berlaku dan sahnya bukan syarat terjadinya, kalau muhal tidak baligh
maka untuk pembolehan hawalah harus sesuai izin walinya.
2) Ridha, hawalah juga tidak sah kalau
muhal dipaksa, ini juga disepakati oleh Malikiyah dan Syafi’iyah.
3) Qabulnya sempurna pada majlis aqad
hawalah, ini syarat terjadinya menurut Abu Hanifah dan Muhammad, kalau muhal
tidak ada pada majlis, kemudian sampai khabar kepadanya, maka dia membolehkan,
tapi tidak berlaku menurut keduanya sedangakn menurut Abu Yusuf ini, syarat
berlaku, Al Kasani menyatakan: yang shahih adalah perkataan keduanya karena
qabul muhal merupakan termasuk rukun hawalah.
c. Syarat muhal `alaih pada muhal `alaih
ada 3 syarat juga
1) Sah melakukan aqad, yaitu berakal dan
baligh, tidak boleh hawalah kepada anak kecil , dan orang gila, tapi baligh
disini hanya syarat terjadinya saja anak kecil pada dasarnya tidak sah
melakukan hawalah
2) Ridha, kalau dia di paksa menerima
hawalah tidak sah, dan malikiyah tidak menysaratkan ridha muhal `alaih.
3) Sempurna qabulnya pada majlis aqad
menurut Abu Hanifah dan Muhammad dia syarat terjadinya.
d. Syarat-syarat muhal bihi ada 2 syarat.
1) Dia adalah utang, maksudnya jelas bahwa
muhil punya utang kepada muhal, kalau tidak ada utang yang terjadi adalah
wakalah ( perwakilan ) bukan hawalah, karena ini tidak sah hawalah pada
barang-barang yang ada karena dia tidak berada pada tanggungan.
2) Utang itu sudah lazim (harus/pasti),
maka tidak sah – ini pada zaman dahulu - hawalah atas kepada mukatab dengan ganti
kitabah (janji mereka dengan pembayaran tertentu)nya, karena dia utang yang
tidak lazim (harus) karena tuan tidak wajib baginya utang budaknya, kesimpulan,
bahwa setiap utang yang tidak boleh kafalah (penanggungan) dengannya maka
hawalah pun tidak boleh. Begitu juga hawalah tidak sah, kalau utang `alaih
kepada muhil tidak lazim (harus/pasti) seperti utang anak kecil dan idiot tanpa
izin walinya,maka tidak sah hawalah atas keduanya karena tidak adanya keharusan
/ketetapan atas utang ini, karena wali anak kecil dan idiot bias menggugurkan
dan membuang utang dari keduanya. Dan yang semisal dengannya, hanya barang jual
beli dengan khiyar sebelum harusnya, karena dia termasuk utang yang belum lazim
(harus). Sedangkan wajibnya ada utang muhal `alaih kepada muhil sebelum adanya
hawalah, ini menurut mazhab Hanafi bukan syarat untuk kesahan hawalah, hawalah
tetap sah apakah muhal `alaih sudah punya utang kepada muhil atau belum, dan apakah
hawalah mutlaqah atau muqayyad (terkait dengan sesuatu).
Malikiyah mensyaratkan 3 syarat pada muhal bihi.
1) Utang (muhal bihi) sudah datang (waktu
pelunasannya)
2) Utang muhil kepada muhal sama dengan
utang muhal `alaih kepada muhil baik sifat maupun jumlahnya, maka tidak sah kalau
salah satu lebih sedikit atau lebih banyak, karena dia akan keluar dari hawalah
kedalam jual beli maka masuk kedalam transaksi utang dengan utang.
3) Kedua utang itu atau salah satunya bukan
makanan dari jual beli setahun, karena dia akan menjadi jual beli sebelum di pegang
(diterima).
2. Jenis Hawalah menurut Mazhab Hanafi
a. Hawalah Mutlaqah
Seseorang memindahkan utangnya kepada seseorang dan
tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu, Syi`ah Imamiyah dan
Zaidiyah menurut pendapat yang kuat mereka juga sepakat, dan hawalah mutlaqah
menurut mazhab yang tiga selain mazhab Hanafi, yaitu kalau muhal `alaih tidak
punya utang pada muhil ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan
tiga pihak (dain, madin dan muhal `alaih).
b. Muqayyadah
Memindahkan dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya,
inilah hawalah yang boleh (jaiz), berdasarkan kesepakatan ulama-ulama. (Ini
menurut Dr Assanhury dekat kepada makna pelunasan dengan utang, dari pada
hawalah dengan makna yang lebih halus pada fiqh undang-undang (Al-Wasith:240).
Assanhuri juga berpendapat bahwa hawalah pada Fiqh Islam tidak mengakui hawalah
yang bermakna Fiqh Barat yang bermacam-macam aliran. Mazhab Malik menegaskan bahwa
hawalah utang dengan syarat-syarat tertentu, dengan jalan hibah utang, atau menjual
utang kepada selain madin (Al Wasith: 240).
3. Ketentuan Hawalah
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Hawalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 12/DSN-MUI/IV/2000
tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
1. Rukun hawalah adalah muhil yakni orang
yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muthai yakni orang yang
berpiutang kepada muhil, muhal alaih yakni orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih yakni hutang muhil kepada
muhtal, dan sighat (ijab qabul).
2. Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad) 3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern
3. Hawalah dilakukan harus dengan
persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal alaih.
4. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus
dinyatakan dalam akad secara tegas.
5. Jika transaksi hawalah telah dilakukan,
pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan
mulai berpindah kepada muhal alaih.
Ketentuan
lain yang berkaitan dengan transaksi hawalah tercantum dalam ketentuan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 58/DSN-MUI/V/2007 Tentang Hawalah Bil Ujrah yang
menjelaskan sebagai berikut:
Pertama
: Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan
a. Hawalah adalah pengalihan utang dari
satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
b. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di
mana muhil adalah orang yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih
sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
c. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana
muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih;
d. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan
pengenaan ujrah/fee;
Kedua :
Ketentuan Akad
1. Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada
hawalah muthlaqah.
2. Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih
boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
3. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan
pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
4. Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
5. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;
6. Hawalah harus dilakukan atas dasar
kerelaan dari para pihak yang terkait.
7. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus
dinyatakan dalam akad secara tegas.
8. Jika transaksi hawalah telah dilakukan,
hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
9. LKS yang melakukan akad Hawalah bil
Ujrah boleh memberikan sebahagian fee hawalah kepada shahibul mal.
E.
Rahn
1. Pengertian dan Rukun
Akad rahn (zuhaili, bmi ) menurut syara` adalah menahan
sesuatu denan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali.
Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara`
sebagai jaminan hutang,hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
semuanya atau sebagian. Juga termasuk rahn adalah transaksi yang menggunakan
surat berharga (sebagai jaminan) dengan barang.
2. Ketentuan Rahn
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Rahn sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002
tertanggal 26 Juni 2002 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
Pertama
: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kedua
: Ketentuan Umum
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak
untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi
milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin
kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya
3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin,
sedangkan biaya pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin
4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan
Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
5) Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus
memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi
hutangnya, maka Marhun dijual / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk
melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpaan yang belum dibayar serta
biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik
Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Sedangkan Rahn emas tercantum dalam fatwa Dewan
Syariah Nasional nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tertanggal 28 Maret 2002 (Fatwa,
2006) sebagai berikut:
a. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip
Rahn (lihat Fatwa DSn nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn)
b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang
gadai (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin)
c. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2
besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nayat diperlukan
d. Biaya penyimpanan barang gadai dilakukan
berdasarkan akad Ijarah.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
68/DSNMUI/III2008 tentang Rahn Tasjily dijelaskan sebagai berikut:
Pertama :
Ketentuan Umum
Rahn
Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan
tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin dan bukti
kepemilikannya diserahkan kepada murtahin;
Kedua:
: Ketentuan Khusus
Bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn
Tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Rahin menyerahkan bukti kepemilikan
barang kepada murtahin;
b. Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk
bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan
barang ke Murtahin. Dan apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi
utangnya, Marhun dapat dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang
atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah;
c. Rahin memberikan wewenang kepada
Murtahin untuk mengeksekusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau
tidak dapat melunasi utangnya;
d. Pemanfaatan barang marhun oleh rahin
harus dalam batas kewajaran sesuai kesepakatan;
e. Murtahin dapat mengenakan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau
sertifikat) yang ditanggung oleh rahin;
f. Besaran biaya pemeliharaan dan
penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang
diberikan;
g. Besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf
e tersebut didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan
akad Ijarah.
h. Biaya asuransi pembiayaan Rahn Tasjily
ditanggung oleh Rahin.
Ketiga:
Ketentuan-ketentuan umum fatwa No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn yang terkait
dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily tetap berlaku.
Referensi:
Wiroso,
Produk Perbankan Syariah, ed.1, cet.
1, Jakarta: LPFE Usakti, 2009
Prinsip-Prinsip Jasa Perbankan Syariah Dan Ketentuannya
Titanium Art Studio
BalasHapusThis glass design titanium hair trimmer combines bronze and titanium element titanium elements to create a perfect fit for keith titanium your casino or casino. Each piece is titanium cross necklace made titanium plumbing in resin and includes a $11.99 · In stock