TEKNIK BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH
Dalam mudharabah
bagi hasil tergantung pada hasil usha yang diperoleh oleh pengelola dana sesuai
nisbah yang disepakati pada awal
akad. Jadi dalam mudharabah tidak
diperkenankan untuk meminta pengelola untuk memberikan imbalan dalam bentuk
bagi hasil yang besarnya ditetapkan didepan, yang harus disepakati diawal
adalah porsi pembagian keuntungan yang sering disebut dengan nisbah.
Misalnya bank syariah ingin memberikan modal mudharabah sebesar Rp. 50.000.000,- dengan
prinsip mudharabah. Dari pemberian modal
mudharabah tersebut bank syariah
mengharapkan keuntungan (expectation
return) atau proyek pendapatan sebesar 20% x Rp. 50.000.000 = Rp.
10.000.000,--. Dengan pemberian modal Rp. 50.000.000 tersbeut bank syariah
tidak diperkenan meminta kepada pengelola (nasabah) untuk membayar bagi hasil
Rp. 10.000.000,-- yang harus dilakukan adalah menentukan porsi pembagian hasil
usaha (nisbah). Pada umumnya dalam
berbagi hasil mempergunakan prinsip revenue sharing yaitu pembagian dari hasil
usaha (gross profit), sehingga harus diketahui proyeksi hasil usaha yang
diperoleh nasabah (misalnya sebesar Rp. 40.000.00,--), yaitu penjualan yang
dilakukan sebesar Rp.120.000.000,-- dikurangi harga pokok penjualan sebesar Rp.
80.000.000,--. Dalam revenue sharing
bank syariah hanya diperkenankan melakukan pembagian hasil usaha dari estimasi
laba kotor tersebut yaitu dari Rp.40.000.000,-- ini. Jika proyeksi yang diharapkanoleh
bank syariah adalah Rp. 10.000.000,- maka nisbah untuk bank syariah sebagai
pemilik dana adalah 10.000.000/40.000.000 x 100% = 25% sehingga nisbah yang
diharapkan adalah 25 untuk bank syariah dan 75 untuk nasabah. Jika realisasi
hasil usaha (laba kotor) sesuai proyeksi sebesar Rp. 40.000.000,-- maka bank
syariah mendapatkan bagi hasil sebesar 25% x Rp. 40.000.000,-- = Rp.
10.000.000,-- sesuai dengan proyeksi dan nasabah mendapatkan bagi hasil sebesar
75% x Rp.40.000.000,-- = Rp. 30.000.000. Namun jika realisasi hasil usaha (laba
kotor) yang diperoleh hanya sebesar Rp. 5.000.000,-- mka bagi hasil untuk bank syariah
hanya sebesar 25% x Rp. 5.000.000 = Rp. 1.250.000,- atau lebih rendah dari
proyeksi sedangkan nasabah mendapatkan bagi hasil sebesar 75% x Rp. 5.000.000 =
Rp.3.750.000. Proyeksi bank syariah Rp. 10.000.000,-- sedangkan realisasi bagi
hasil dari nasabah Rp. 1.250.000.,-- maka sisanya sebesar Rp. 8.750.000,--
tidak diperkenankan ditagih atau diakumulasikan dengan bagi hasil berikutnya.
Sebaliknya jika realisasi hasil usaha sebesar Rp. 60.000.000,-- maka bank syariah
mendapatkan bagi hasil sebesar 25% x Rp. 60.000.000 = Rp. 15.000.000,--
(melebihi proyeksi) dan untuk nasabah memperoleh bagi hasil sebesar 75% x Rp.
60.000.000,-- = Rp.45.000.000,-- Pendapatan yang melebihi proyeksi merupakan
haknya bank syariah. Sedangkan Kerugian Mudharabah
perlu diketahui hal-hal (aaoifi, 2000) sebagai berikut:
a. Sebagaimana disebutkan di atas, kerugian
hanya akan ditanggung oleh pemilik dari dana, namun Pengelola Dana tidak akan
menanggung apapun darinya terkecuali apabila hal ini terjadi karena pelanggaran
dari pihaknya atas dana atau kelalaiannya ditinjau dari perjanjian Fuqaha atau
kesepakatan Fuqaha mengenai kesepakatan ini.
b. Kerugian akhir neto pada saat Mudharabah
diputarkan kembali akan dianggap sebagai penurunan dalam modal Mudharabah, dan
Pengelola Dana akan mengembalikan sisanya setelah mengurangkan kerugian sesuai
dengan perjanjian kesepakatan Fuqaha.
c. Kerugian berkala atau sewaktu-waktu,
yang terjadi pada masa kelangsungan Mudharabah harus diperhitungkan dengan
keuntungan yang diperoleh sebelumnya yang belum dibagikan di antara kedua belah
pihak, jika ada, sesuai dengan ketentuan perjanjian Fuqaha.
d. Kerugian sewaktu-waktu yang tidak
ditutup oleh keuntungan yang diperoleh sebelumnya harus ditangguhkan sampai
terdapat realisasi keuntungan setelahnya dan diperhitungkan dengannya, dan
keuntungan semacam ini tidak akan dibagikan, terkecuali setelah
kerugian-kerugian tersebut di atas telah diganti rugi. Apabila tidak terdapat
keuntungan yang diperoleh setelahnya atau apabila keuntungan yang diperoleh
tidak cukup untuk menutup kerugian ini sampai akhir dari jangka waktu tersebut,
maka kerugian tersebut akan diperlakukan sebagai atau dengan mengacu kepada
butir 2 diatas.
e. Apabila kerugian sewaktu-waktu terjadi
selama kelangsungan Mudharabah, dan keuntungan yang diperoleh sebelumnya telah
dialokasikan, maka kerugian semacam ini akan diganti rugi dari keuntungan
tersebut: sesuai dengan ketentuan ketidak konsistensi keuntungan yang
dibagikan. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa Pengelola Dana harus
mengembalikan keuntungan yang telah ia peroleh untuk menutup kerugian ini, dan
keuntungan yang diambil oleh pemilik dari dana tersebut harus dihitung sebagai
penarikan dari bagian modalnya sesuai dengan ketentuan kepemilikan keuntungan.
f. Kerugian dari dana Mudharabah yang
kerugiannya disebabkan oleh kerusakan atau sebab-sebab lainnya selain daripada
sebab praktek kegiatan usahanya sendiri, akan diperlakukan sebagai kerugian
modal apabila semua dari dana itu telah rugi sebelum atau setelah mulainya
kegiatan usaha tersebut dan apabila juga sebagian darinya telah merugi sebelum
mulainya kegiatan usaha tersebut, maka sesuai dengan kaidah penggandaan Fuqaha,
terkecuali bagi Safii dan apabila bagiannya tersebut merupakan kerugian setelah
dimulainya kegiatan usaha akan diperlakukan sebagai suatu kerugian biasa.
g. Pengaturan atau kaidah sehubungan dengan
pelanggaran oleh Pengelola Dana dalam kegiatannya terhadap ketentuan atau
tujuan atau persyaratan kontrak atau batasan-batasan yang dibuat terhadapnya oleh
pemilik dari dana tersebut: dalam hal ini ia akan menjadi seorang pelanggar dan
kepemilikan atas dananya sebagai trust atau wali akan berubah menjadi suatu
agunan, yakni jumlah akan diubah dari Mudharabah menjadi suatu hutang oleh
Pengelola Dana tersebut. Apabila ia mengalihkan dana tersebut bertentangan
dengan ketentuan dan melakukan pelanggaran itu, dan ia memperoleh keuntungan,
maka sesuai dengan kebijakan Fuqaha, semua keuntungan tersebut akan menjadi
milik dari pemilik dana, sedangkan menurut pendapat lainnya adalah bahwa itu
harus merupakan milik Pengelola Dana dan beberapa lainnya mengatakan bahwa
keuntungan akan tetap merupakan keuntungan bersama bagi kedua belah pihak
tersebut.
h. Pengaturan sehubungan dengan pencabutan
(penghapusan) Mudharabah: Mudharabah dicabut kembali karena tiadanya salah satu
dari ketentuan atau syarat-syarat tersebut. Salah satu dari peraturan tersebut
mengatakan, bahwa dana tersebut akan tetap merupakan kepercayaan atau perwalian
pada kepemilikan. Pengelola Dana, karena ia akan menjadi karyawan, dan tindakannya
sehubungan dengan dana Mudharabah yang telah dicabut kembali dapat sah atau
berlaku. Dalam hal suatu keuntungan diperoleh dari tindakan semacam ini,
beberapa ketentuan Fuqaha mengatakan, bahwa semua keuntungan tersebut harus
menjadi milik dari pemilik dana dan Pengelola Dana akan menerima pembayaran
sejumlah yang sama dan beberapa Fuqaha mengatakan bahwa Pengelola Dana harus menerima
kurang dari pembayaran yang sama atau bagian dari keuntungan yang disebutkan di
dalam kontrak.
Mudharabah akan diakhiri baik dengan perjanjian di
antara kedua belah pihak, karena keinginan kedua belah pihak, atau dengan alasan
force majeure (keadaan kahar) seperti
kerugian dari semua dana atau kematian salah satu dari kedua belah pihak. Beberapa
dari pengaturan ini adalah (aaoifi, 2000) sebagai berikut:
a. Pengelola Dana harus mengembalikan modal
kepada pemilik dana, dan apabila ia tidak melaksanakan demikian, ia akan
dianggap sebagai pelanggar, dan dana tersebut akan menjadi suatu agunan, dan
jumlah yang akan diubah dari Mudharabah menjadi hutang yang jatuh tempo kepada
Pengelola Dana.
b. Dalam hal Mudharabah ini berakhir, dan
bagian atau semua dari dana merupakan barang-barang yang belum dijual, dan
apabila mereka sepakat mengenai penjualannya atau untuk membaginya di antara
mereka, atau salah satu dari mereka mengambilnya untuk dirinya sendiri dan
memberikan kepada yang lainnya pembayaran tunai yang jatuh tempo. Maka, hal di
atas akan dapat diperbolehkan, bahkan apabila mereka mempunyai perbedaan dalam
penjualannya pada saat ini, atau mereka menginginkan untuk menunggu sampai
berlalunya waktu tertentu, mereka akan melihat kembali dari sudut pandang ini,
bahwa apabila terdapat suatu estimasi keuntungan, maka ketentuan Pengelola Dana
yang akan berlaku. Apabila tidak terdapat ketentuan itu, maka pemilik dari dana
itu yang akan berlaku.
c. Sirkulasi dari dana Mudharabah, yakni
apabila salah satu dari kedua belah pihak meminta untuk berhenti dari
Mudharabah, maka akan dilanjutkan oleh lainnya apabila terdapat jumlah beberapa
orang. Hal ini akan memungkinkan dan pihak yang meninggalkan dapat menjual
bagiannya dalam Mudharabah tersebut kepada pihak lainnya atau orang-orang lain
siapa pun, asalkan bahwa bagiannya tersebut dalam modal dinilai. Apabila ia merupakan
pemilik dari dana, maka hal ini harus dinilai dengan harga penjualan saat ini,
dan Pengelola Dana harus memperoleh bagian dari keuntungan yang diestimasikan
tersebut jika ada.
d. Dalam hal mereka sepakat mengenai
pengembalian modal dalam pembayaran, maka suatu proporsi keuntungan atau
kerugian yang ditunjukkan dalam Mudharabah harus dihitung bagi setiap
pembayaran.
Pembatasan Masa/Periode Pembiayaan Mudharabah,
sebagian Fuqaha membolehkan untuk membatasi waktu dalam pembiayaan Mudharabah
untuk selama periode tertentu misalnya, namun sebagian lainn melarangnya karena
hal itu menjadi tidak penting apabila dalam perjanjian tersebut dinyatakan
bahwa masing-masing berhak untuk membatalkan perjanjian kapan saja. Pembuatan
persyaratan kontrak terhadap masalah khusus, beberpa ahli Fiqh mengizinkan atas
adanya penerapan kontrak yang tidak diawali. Peraturan penangguhan atau
perpanjangan kontrak pada atau untuk suatu hal di masa akan datang, yakni
ketika implementasi kontrak tidak dapat diawali dengan terkecuali terjadi
hal-hal semacam ini.
Berkaitan dengan Garansi dalam Mudharabah, hal ini menunjukkan adanya tanggungjawab Pengelola Dana
dalam mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua pekerjaannya.
Peraturan jaminan dalam Mudharabah: hal ini berarti bahwa Pengelola Dana akan
bertanggung jawab untuk mengembalikan
modal
kepada pemilik dana dalam hal apa pun. Hal ini tidak diperbolehkan pada waktu
jatuh tempo kenyataan bahwa, kepemilikan Pengelola Dana akan dana tersebut
dibuat sebagai suatu trust, dan dengan demikian tidak menjamin dana tersebut
terkecuali dalam hal omisi atau pelanggaran. Dengan demikian Fuqaha mengijinkan
pemilik dana untuk meminta jaminan dari Pengelola Dana terhadap pelanggaran
atau penghilangannya, yang disebut sebagai jaminan terhadap pelanggaran. Juga
dimungkinkan bagi peraturan sesuai madzhab Maliki, bahwa pihak ketiga di luar mudharabah memberikan suatu jaminan.
Referensi:
Wiroso,
Produk Perbankan Syariah, ed.1, cet.
1, Jakarta: LPFE Usakti, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar