Halaman

Kamis, 09 Januari 2014

TEKNIK BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH


TEKNIK BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH
Dalam mudharabah bagi hasil tergantung pada hasil usha yang diperoleh oleh pengelola dana sesuai nisbah yang disepakati pada awal akad. Jadi dalam mudharabah tidak diperkenankan untuk meminta pengelola untuk memberikan imbalan dalam bentuk bagi hasil yang besarnya ditetapkan didepan, yang harus disepakati diawal adalah porsi pembagian keuntungan yang sering disebut dengan nisbah.
Misalnya bank syariah ingin memberikan modal mudharabah sebesar Rp. 50.000.000,- dengan prinsip mudharabah. Dari pemberian modal mudharabah tersebut bank syariah mengharapkan keuntungan (expectation return) atau proyek pendapatan sebesar 20% x Rp. 50.000.000 = Rp. 10.000.000,--. Dengan pemberian modal Rp. 50.000.000 tersbeut bank syariah tidak diperkenan meminta kepada pengelola (nasabah) untuk membayar bagi hasil Rp. 10.000.000,-- yang harus dilakukan adalah menentukan porsi pembagian hasil usaha (nisbah). Pada umumnya dalam berbagi hasil mempergunakan prinsip revenue sharing yaitu pembagian dari hasil usaha (gross profit), sehingga harus diketahui proyeksi hasil usaha yang diperoleh nasabah (misalnya sebesar Rp. 40.000.00,--), yaitu penjualan yang dilakukan sebesar Rp.120.000.000,-- dikurangi harga pokok penjualan sebesar Rp. 80.000.000,--. Dalam revenue sharing bank syariah hanya diperkenankan melakukan pembagian hasil usaha dari estimasi laba kotor tersebut yaitu dari Rp.40.000.000,-- ini. Jika proyeksi yang diharapkanoleh bank syariah adalah Rp. 10.000.000,- maka nisbah untuk bank syariah sebagai pemilik dana adalah 10.000.000/40.000.000 x 100% = 25% sehingga nisbah yang diharapkan adalah 25 untuk bank syariah dan 75 untuk nasabah. Jika realisasi hasil usaha (laba kotor) sesuai proyeksi sebesar Rp. 40.000.000,-- maka bank syariah mendapatkan bagi hasil sebesar 25% x Rp. 40.000.000,-- = Rp. 10.000.000,-- sesuai dengan proyeksi dan nasabah mendapatkan bagi hasil sebesar 75% x Rp.40.000.000,-- = Rp. 30.000.000. Namun jika realisasi hasil usaha (laba kotor) yang diperoleh hanya sebesar Rp. 5.000.000,-- mka bagi hasil untuk bank syariah hanya sebesar 25% x Rp. 5.000.000 = Rp. 1.250.000,- atau lebih rendah dari proyeksi sedangkan nasabah mendapatkan bagi hasil sebesar 75% x Rp. 5.000.000 = Rp.3.750.000. Proyeksi bank syariah Rp. 10.000.000,-- sedangkan realisasi bagi hasil dari nasabah Rp. 1.250.000.,-- maka sisanya sebesar Rp. 8.750.000,-- tidak diperkenankan ditagih atau diakumulasikan dengan bagi hasil berikutnya. Sebaliknya jika realisasi hasil usaha sebesar Rp. 60.000.000,-- maka bank syariah mendapatkan bagi hasil sebesar 25% x Rp. 60.000.000 = Rp. 15.000.000,-- (melebihi proyeksi) dan untuk nasabah memperoleh bagi hasil sebesar 75% x Rp. 60.000.000,-- = Rp.45.000.000,-- Pendapatan yang melebihi proyeksi merupakan haknya bank syariah. Sedangkan Kerugian Mudharabah perlu diketahui hal-hal (aaoifi, 2000) sebagai berikut:
a.       Sebagaimana disebutkan di atas, kerugian hanya akan ditanggung oleh pemilik dari dana, namun Pengelola Dana tidak akan menanggung apapun darinya terkecuali apabila hal ini terjadi karena pelanggaran dari pihaknya atas dana atau kelalaiannya ditinjau dari perjanjian Fuqaha atau kesepakatan Fuqaha mengenai kesepakatan ini.
b.      Kerugian akhir neto pada saat Mudharabah diputarkan kembali akan dianggap sebagai penurunan dalam modal Mudharabah, dan Pengelola Dana akan mengembalikan sisanya setelah mengurangkan kerugian sesuai dengan perjanjian kesepakatan Fuqaha.
c.       Kerugian berkala atau sewaktu-waktu, yang terjadi pada masa kelangsungan Mudharabah harus diperhitungkan dengan keuntungan yang diperoleh sebelumnya yang belum dibagikan di antara kedua belah pihak, jika ada, sesuai dengan ketentuan perjanjian Fuqaha.
d.      Kerugian sewaktu-waktu yang tidak ditutup oleh keuntungan yang diperoleh sebelumnya harus ditangguhkan sampai terdapat realisasi keuntungan setelahnya dan diperhitungkan dengannya, dan keuntungan semacam ini tidak akan dibagikan, terkecuali setelah kerugian-kerugian tersebut di atas telah diganti rugi. Apabila tidak terdapat keuntungan yang diperoleh setelahnya atau apabila keuntungan yang diperoleh tidak cukup untuk menutup kerugian ini sampai akhir dari jangka waktu tersebut, maka kerugian tersebut akan diperlakukan sebagai atau dengan mengacu kepada butir 2 diatas.
e.       Apabila kerugian sewaktu-waktu terjadi selama kelangsungan Mudharabah, dan keuntungan yang diperoleh sebelumnya telah dialokasikan, maka kerugian semacam ini akan diganti rugi dari keuntungan tersebut: sesuai dengan ketentuan ketidak konsistensi keuntungan yang dibagikan. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa Pengelola Dana harus mengembalikan keuntungan yang telah ia peroleh untuk menutup kerugian ini, dan keuntungan yang diambil oleh pemilik dari dana tersebut harus dihitung sebagai penarikan dari bagian modalnya sesuai dengan ketentuan kepemilikan keuntungan.
f.       Kerugian dari dana Mudharabah yang kerugiannya disebabkan oleh kerusakan atau sebab-sebab lainnya selain daripada sebab praktek kegiatan usahanya sendiri, akan diperlakukan sebagai kerugian modal apabila semua dari dana itu telah rugi sebelum atau setelah mulainya kegiatan usaha tersebut dan apabila juga sebagian darinya telah merugi sebelum mulainya kegiatan usaha tersebut, maka sesuai dengan kaidah penggandaan Fuqaha, terkecuali bagi Safii dan apabila bagiannya tersebut merupakan kerugian setelah dimulainya kegiatan usaha akan diperlakukan sebagai suatu kerugian biasa.
g.      Pengaturan atau kaidah sehubungan dengan pelanggaran oleh Pengelola Dana dalam kegiatannya terhadap ketentuan atau tujuan atau persyaratan kontrak atau batasan-batasan yang dibuat terhadapnya oleh pemilik dari dana tersebut: dalam hal ini ia akan menjadi seorang pelanggar dan kepemilikan atas dananya sebagai trust atau wali akan berubah menjadi suatu agunan, yakni jumlah akan diubah dari Mudharabah menjadi suatu hutang oleh Pengelola Dana tersebut. Apabila ia mengalihkan dana tersebut bertentangan dengan ketentuan dan melakukan pelanggaran itu, dan ia memperoleh keuntungan, maka sesuai dengan kebijakan Fuqaha, semua keuntungan tersebut akan menjadi milik dari pemilik dana, sedangkan menurut pendapat lainnya adalah bahwa itu harus merupakan milik Pengelola Dana dan beberapa lainnya mengatakan bahwa keuntungan akan tetap merupakan keuntungan bersama bagi kedua belah pihak tersebut.
h.      Pengaturan sehubungan dengan pencabutan (penghapusan) Mudharabah: Mudharabah dicabut kembali karena tiadanya salah satu dari ketentuan atau syarat-syarat tersebut. Salah satu dari peraturan tersebut mengatakan, bahwa dana tersebut akan tetap merupakan kepercayaan atau perwalian pada kepemilikan. Pengelola Dana, karena ia akan menjadi karyawan, dan tindakannya sehubungan dengan dana Mudharabah yang telah dicabut kembali dapat sah atau berlaku. Dalam hal suatu keuntungan diperoleh dari tindakan semacam ini, beberapa ketentuan Fuqaha mengatakan, bahwa semua keuntungan tersebut harus menjadi milik dari pemilik dana dan Pengelola Dana akan menerima pembayaran sejumlah yang sama dan beberapa Fuqaha mengatakan bahwa Pengelola Dana harus menerima kurang dari pembayaran yang sama atau bagian dari keuntungan yang disebutkan di dalam kontrak.
Mudharabah akan diakhiri baik dengan perjanjian di antara kedua belah pihak, karena keinginan kedua belah pihak, atau dengan alasan force majeure (keadaan kahar) seperti kerugian dari semua dana atau kematian salah satu dari kedua belah pihak. Beberapa dari pengaturan ini adalah (aaoifi, 2000) sebagai berikut:
a.       Pengelola Dana harus mengembalikan modal kepada pemilik dana, dan apabila ia tidak melaksanakan demikian, ia akan dianggap sebagai pelanggar, dan dana tersebut akan menjadi suatu agunan, dan jumlah yang akan diubah dari Mudharabah menjadi hutang yang jatuh tempo kepada Pengelola Dana.
b.      Dalam hal Mudharabah ini berakhir, dan bagian atau semua dari dana merupakan barang-barang yang belum dijual, dan apabila mereka sepakat mengenai penjualannya atau untuk membaginya di antara mereka, atau salah satu dari mereka mengambilnya untuk dirinya sendiri dan memberikan kepada yang lainnya pembayaran tunai yang jatuh tempo. Maka, hal di atas akan dapat diperbolehkan, bahkan apabila mereka mempunyai perbedaan dalam penjualannya pada saat ini, atau mereka menginginkan untuk menunggu sampai berlalunya waktu tertentu, mereka akan melihat kembali dari sudut pandang ini, bahwa apabila terdapat suatu estimasi keuntungan, maka ketentuan Pengelola Dana yang akan berlaku. Apabila tidak terdapat ketentuan itu, maka pemilik dari dana itu yang akan berlaku.
c.       Sirkulasi dari dana Mudharabah, yakni apabila salah satu dari kedua belah pihak meminta untuk berhenti dari Mudharabah, maka akan dilanjutkan oleh lainnya apabila terdapat jumlah beberapa orang. Hal ini akan memungkinkan dan pihak yang meninggalkan dapat menjual bagiannya dalam Mudharabah tersebut kepada pihak lainnya atau orang-orang lain siapa pun, asalkan bahwa bagiannya tersebut dalam modal dinilai. Apabila ia merupakan pemilik dari dana, maka hal ini harus dinilai dengan harga penjualan saat ini, dan Pengelola Dana harus memperoleh bagian dari keuntungan yang diestimasikan tersebut jika ada.
d.      Dalam hal mereka sepakat mengenai pengembalian modal dalam pembayaran, maka suatu proporsi keuntungan atau kerugian yang ditunjukkan dalam Mudharabah harus dihitung bagi setiap pembayaran.
Pembatasan Masa/Periode Pembiayaan Mudharabah, sebagian Fuqaha membolehkan untuk membatasi waktu dalam pembiayaan Mudharabah untuk selama periode tertentu misalnya, namun sebagian lainn melarangnya karena hal itu menjadi tidak penting apabila dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa masing-masing berhak untuk membatalkan perjanjian kapan saja. Pembuatan persyaratan kontrak terhadap masalah khusus, beberpa ahli Fiqh mengizinkan atas adanya penerapan kontrak yang tidak diawali. Peraturan penangguhan atau perpanjangan kontrak pada atau untuk suatu hal di masa akan datang, yakni ketika implementasi kontrak tidak dapat diawali dengan terkecuali terjadi hal-hal semacam ini.
Berkaitan dengan Garansi dalam Mudharabah, hal ini menunjukkan adanya tanggungjawab Pengelola Dana dalam mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua pekerjaannya. Peraturan jaminan dalam Mudharabah: hal ini berarti bahwa Pengelola Dana akan bertanggung jawab untuk mengembalikan
modal kepada pemilik dana dalam hal apa pun. Hal ini tidak diperbolehkan pada waktu jatuh tempo kenyataan bahwa, kepemilikan Pengelola Dana akan dana tersebut dibuat sebagai suatu trust, dan dengan demikian tidak menjamin dana tersebut terkecuali dalam hal omisi atau pelanggaran. Dengan demikian Fuqaha mengijinkan pemilik dana untuk meminta jaminan dari Pengelola Dana terhadap pelanggaran atau penghilangannya, yang disebut sebagai jaminan terhadap pelanggaran. Juga dimungkinkan bagi peraturan sesuai madzhab Maliki, bahwa pihak ketiga di luar mudharabah memberikan suatu jaminan.

Referensi:
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, ed.1, cet. 1, Jakarta: LPFE Usakti, 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar